Sebenarnya, setiap orang dari
kita pasti pernah menyaksikan apa yang dinamakan kematian. Entah itu cuma
kematian binatang peliharaan kita, ataupun kematian dari orang-orang yang
berada di sekitar kita, sampai pada kematian teman maupun anggota keluarga yang
kita cintai. Sebagai manusia yang normal, memang sudah seharusnya kita bersedih
hati atas semua kematian itu. Terlebih kalau orang yang telah meninggalkan kita
untuk selama-lamanya itu adalah orang-orang yang pernah dekat dengan kita.
Tidak mudah memang bagi seseorang
untuk dapat menerima kematian dari orang-orang yang dicintainya. Sebagian orang
ada yang berubah menjadi pemurung, sedih berkepanjangan dan merasa tidak lagi
memiliki hari depan. Bahkan ada juga yang sampai menyalahkan Tuhan atas semua
yang menimpanya. Merasa Tuhan mengabaikan dan tidak menolongnya, dan kemudian merasa
kecewa dengan Tuhan.
Pada beberapa kasus yang biasanya
menimpa anak-anak muda, karena merasa tidak lagi memiliki hari depan bersama si
dia sang kekasih, ada sebagian orang yang sampai memilih untuk “menyusul”
kekasihnya yang telah meninggal tersebut. Kelihatannya, dari sudut pandang
duniawi sih sepertinya romantis sekali ya?... seperti pasangan sehidup semati
gitu lo…. (cerita Romeo dan Juliet). Namun apa betul…, mereka sehidup semati?
Tempat asal keberangkatannya sih memang sama, tapi apa tujuannya juga sama?
Jangan-jangan yang pergi lebih dulu ke sorga sedangkan yang nyusul (bunuh diri)
dapat dipastikan ke neraka.
Kematian memang tidak dapat di
duga. Kedatangannya bisa kapan saja. Itulah sebabnya Alkitab memperingatkan
kita untuk selalu berjaga-jaga senantiasa. Janganlah kita terlalu asik dengan
kehidupan kita yang penuh dosa, dengan harapan nanti sebelum mati baru
bertobat.
Jangan sesat Saudara! Ini adalah
tipuan iblis untuk menjerat Saudara hingga akhirnya pintu pertobatan itu
tertutup buat Saudara. Pertobatan yang diatur-atur begitu pada dasarnya
bukanlah pertobatan. Pertobatan demikian tidak tulus, karena hanya dilandasi
oleh keinginan untuk menyelamatkan diri saja. Bukan pertobatan dengan hati yang
hancur. Ini licik!
Dulu, sayapun pernah mempunyai
pandangan yang serupa. “Boleh saja seseorang bertobat menjelang kematiannya,
tapi resikonya seandainya tidak sempat, ditanggung sendiri.” Tetapi sekarang
pandangan itu sudah saya buang jauh-jauh. Seseorang yang memang berkeinginan
untuk bertobat, seharusnya bertobat saat itu juga.
Menunda-nunda pertobatan
menjelang kematiannya bukan saja takut tidak sempat, tetapi yang lebih penting
takut tidak tulus dan hanya seperti orang yang bersandiwara saja. Air mata
mungkin boleh keluar tetapi yang sesungguhnya di dalam hati orang tersebut,
Tuhan tahu apa motif di balik pertobatannya. Pertobatan yang sungguh-sungguh
berasal dari hati, bukan dari mulut! Hatilah yang dapat membuat mulut berkata
jujur. Begitu juga sebaliknya, apa yang dikatakan oleh mulut, hati dapat
menyangkalnya.
Bagi orang percaya, ada banyak
ayat di Alkitab yang mengatakan bahwa kematian itu bukanlah suatu hal yang
menakutkan, malahan suatu suka cita bagi kita. Tuhan Yesus sendiripun pernah
mengalami kematian di dunia ini.
Namun tidak sedikit orang percaya
saat ini yang masih sangat takut pada kematian. Entah apa yang membuat mereka
tidak siap. Mungkin saja memikirkan nasib keluarga yang akan di tinggalkan,
ataupun meragukan akan keselamatan dirinya sendiri. Tetapi apapun itu semua,
pada dasarnya inilah cerminan bahwa mereka tidak bergantung sepenuh hati kepada
Tuhan Yesus. Mereka tidak merasa yakin Tuhan Yesus sanggup memelihara keluarga
yang ditinggalkan dan juga menjamin keselamatan tiap orang percaya. Atau bisa
jadi karena mereka lebih merasa mencintai dunia ini.
Pertimbangan-pertimbangan begini
Saudara, seharusnya tidak boleh ada pada diri orang kristen, kematian
sebenarnya adalah suatu suka cita bagi kita. Alkitab mengatakan :
Filipi 1
1:21. Karena bagiku
hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.
Wahyu 14
14:13. Dan aku
mendengar suara dari sorga berkata: Tuliskan: "Berbahagialah orang-orang
mati yang mati dalam Tuhan, sejak sekarang ini." "Sungguh," kata
Roh, "supaya mereka boleh beristirahat dari jerih lelah mereka, karena segala
perbuatan mereka menyertai mereka."
Sebagai orang kristen, kita sudah
dijamin oleh kebangkitan Yesus bahwa kita semuapun akan dibangkitkan. Tidak ada
kematian di dunia ini yang patut kita takutkan. Begitu juga kita tidak perlu
takut ditinggal mati oleh orang-orang yang kita kasihi. Biarlah mereka
beristirahat seperti firman di atas. Tugas kita yang ditinggalkan, bangkitlah
untuk hidup seperti apa yang diinginkan Tuhan. Jangan takut untuk menatap masa
depan karena Tuhan mampu untuk memelihara kita.
Memang saat inipun bila kita
membaca warta jemaat yang ada pada gereja-gereja, masih juga di tulis “Berita
duka cita” untuk mengabarkan kematian seorang kristen. Cara ini, menurut saya
kurang tepat. Mengapa? Alkitab tidak pernah mengatakan berduka citalah orang-orang
yang mati dalam Tuhan, tetapi berbahagialah! Artinya kita berbeda dari
orang-orang dunia ini.
Sebagian orang memang ada yang
berpendapat “yang bahagia kan orang yang meninggal, orang yang ditinggalkan
tentunya sedih. Jadi kata-kata berita
duka cita itu semata-mata untuk mengungkapkan rasa simpati kita kepada
keluarga yang di tinggalkan.”
Secara pribadi, saya masih kurang
setuju dengan pendapat yang seperti ini. Kalau ada keluarga yang berduka karena
kematian orang kristen, seharusnyalah kita menghiburnya dengan mengatakan
kemana sesungguhnya orang yang telah meninggal itu. Dan kalau keluarga yang di
tinggalkan menyayangi orang yang telah meninggal tersebut, sudah seharusnya
keluarga yang di tinggalkan itu dapat bersyukur dan bersuka cita karena ada
salah seorang dari yang mereka kasihi, telah kembali ke rumah Bapa di sorga dan
memperoleh kehidupan yang jauh lebih baik dari pada bila dia tetap hidup di
dunia ini.
Sebagai ilustrasi, bagaimana
reaksi keluarga bila salah seorang anggota keluarganya memperoleh hadiah undian
Rp. 5 miliar ? Bersedihkah atau bersuka citakah? Orang yang waras sudah pasti
akan menjawab “ bersuka cita “. Itu baru harta duniawi senilai Rp. 5 miliar,
apalagi ini Sorga yang Tuhan berikan. Bukankah seharusnya terlebih lagi rasa
suka cita yang dirasakan oleh keluarganya?
Pengertian begini harus kita
berikan kepada mereka yang ditinggalkan, dan bukannya mengatakan “Turut berduka
cita”, seolah-olah yang meninggal dan keluarga yang ditinggalkan mengalami
nasib yang buruk, sehingga perlu berduka. Orang yang mendapat berkat ataupun
keuntungan tidak pernah ada yang berduka termasuk juga keluarganya. Justru
orang yang mendapatkan kemalanganlah yang berduka.
Roma 12
12:2 Janganlah kamu
menjadi serupa dengan dunia ini,
tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan
manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang
sempurna.
Mereka yang tidak percaya memang
patut untuk berduka cita atas kematian dirinya ataupun kematian dari orang-orang
yang dicintainya. Tetapi kita berbeda, janganlah menjadi serupa dengan
orang-orang dunia ini! Pada kita orang percaya, ada janji Tuhan yang pasti akan
keselamatan kita. Karena itu tidak sepantasnyalah kita berduka cita baik oleh
kematian kita sendiri, ataupun kematian dari orang yang kita cintai.
Saya tidak mengatakan bahwa
sebagai orang kristen kita tidak boleh menangisi orang yang meninggal, bukan
itu! Silahkan Saudara tangisi karena memang Saudara tidak akan dapat berjumpa
lagi di dunia ini dengan orang yang telah meninggal tersebut. Tetapi berduka
cita dalam arti sesungguhnya, itu yang tidak perlu.
Karena kita tahu kematian bagi
orang percaya bukanlah suatu duka cita, maka seandainya kita ingin memberitakan
kematian dari seorang kristen kepada jemaat, bukankah lebih baik bila kita
sampaikan bahwa, “Telah berpulang ke rumah Bapa di sorga Saudara kita si A pada
hari…..dst” bukankah kata-kata ini jauh lebih baik dari pada “Berita duka
cita….dst”?
Saudara, sesuai dengan ulasan
kita di atas ini, yang ingin saya sampaikan di sini adalah, janganlah kita
sebagai orang percaya memandang suatu kematian sebagai sesuatu yang sangat
menakutkan sehingga…., sekiranya ada obat untuk hidup kekal di dunia ini kita
sampai berlomba-lomba untuk memperolehnya.
Sudah seharusnya kita dapat
memandang kematian sama seperti rasul Paulus memandangnya seperti dalam surat
Filipi 1:21. Kematian adalah pintu bagi kita untuk dapat masuk ke dalam masa
peristirahatan dari jerih lelah kita selama kita hidup. Tidak ada kebangkitan
dari kematian yang tidak diawali oleh kematian itu sendiri!
Sebagai orang percaya, Tuhan kita
yang tidak dapat berbohong telah
menjamin kita akan kehidupan yang jauh lebih baik setelah kematian kita.
Akankah kita meragukan-Nya? Semuanya itu pasti kita dapatkan selama kita hidup
di dalam iman.
Pengkhotbah 7
7:1. Nama yang harum
lebih baik dari pada minyak yang mahal, dan hari kematian lebih baik dari pada
hari kelahiran.
Ini berarti, seharusnya bagi kita
orang kristen merayakan hari kematian jauh lebih berharga dari pada merayakan
hari kelahiran.
Akhir kata semoga dengan adanya
sharing ini, kematian bukan lagi sebagai hal yang menakutkan bagi kita. Tetapi
dibalik peristiwa yang memang menyedihkan bagi keluarga yang ditinggalkan ini,
kita dapat melihat peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Yaitu suatu peristiwa
suka cita atas kembalinya seorang anak dari rantau (dunia ini) ke rumah Bapa di
sorga yang sedang berlangsung di hadapan kita.
Syallom buat semua, semoga kita
makin dewasa di dalam iman.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar